Rabu, 24 Desember 2008

Grey Area dalam Perpajakan

Idealnya, peraturan yang baik - termasuk peraturan pajak - adalah peraturan yang tidak mengandung grey area. Namun demikian, hal itu tidak mungkin dicapai karena manusia pasti mempunyai kelemahan dan pasti memiliki perbedaan dalam kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Grey area perpajakan adalah sebuah keadaan, transaksi atau kejadian yang dicurigai berat terekspos oleh aturan pajak, akan tetapi tidak ada aturan pajak yang berlaku sekarang yang bisa diterapkan terhadap hal tersebut.
Maka dalam konteks perpajakan, grey area adalah:
  • Keadaan atau transaksi yang sebenarnya terekspos pajak, akan tetapi tidak ada aturan yang mengaturnya;
  • Ada aturannya tapi tidak jelas karena tidak lengkap, tidak implementatif, tidak informatif, memunculkan multi tafsir, berbeda antara aturan dan praktek dan sebagainya;
  • Ada aturannya, akan tetapi jumlahnya lebih dari satu sehingga mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran peraturan, tarik-menarik, saling berkontradiksi dan sebagainya.
Grey area dalam perpajakan sering mengakibatkan munculnya perbedaan persepsi antara satu pihak dengan pihak lain (misalnya antara otoritas pajak dengan pembayar pajak, atau di antara pembayar pajak sendiri, atau bahkan di antara pihak di dalam otoritas pajak sendiri).
Kondisi di atas, jelas akan berpeluang merugikan salah satu pihak. Untuk itu, diperlukan kesepahaman di antara berbagai pihak itu, berkaitan dengan cara pandang mereka terhadap suatu aspek perpajakan. Namun untuk itu, setiap pihak yang akan menginterpretasikan dan mencoba mencari solusi berkaitan dengan suatu kasus grey area, terlebih dahulu harus memahami aspek hukum secara umum, dan khususnya sistem hukum di Indonesia. Dalam hal ini, pemahaman yang paling mendasar adalah berkaitan dengan bagaimana cara yang tepat untuk mengaplikasikan suatu ketentuan perpajakan.


Munculnya Grey Area dalam Perpajakan
Grey Area dalam perpajakan muncul karena bantak sebab, diantaranya adalah :
  • Ketiadaan ketentuan yang semestinya mengatur suatu permasalahan, sehingga memunculkan berbagai persepsi atau interpretasi dan penafsiran;
  • Pengaturan yang ada tidak jelas dan tidak pasti;
  • Pengaturan yang ada berlebih atau saling tumpang tindih;
  • Perbedaan kepentingan dan penafsiran antara pembayar pajak dan otoritas pajak;
  • Perbedaan kepentingan dan penafsiran di antara pembayar pajak;
  • Perbedaan kepentingan dan penafsiran di antara berbagai pihak di dalam otoritas pajak.
 
Menyikapi Grey Area Perpajakan dengan Benar
Pada prinsipnya, setiap pihak siapapun dia (pembayar pajak, konsultan pajak, maupun otoritas pajak) harus mengambil sikap yang tepat atas setiap grey area di dalam dunia perpajakan. Tolok ukur dari sikap itu adalah tetap dipertahankannya orientasi pihak yang bersangkutan pada aspek kebenaran dan keadilan, sebab:
  • Undang-undang perpajakan diberlakukan dengan mengedepankan aspek keadilan. Hal ini bisa dilihat dalam semua konsideran atau pertimbangan yang menjadi uraian pembuka setiap undang-undang perpajakan;
  • Beban pajak harus ditanggung atau dibayar sesuai dengan kemampuan pihak yang harus menanggung atau membayarnya. Ini adalah karakteristik dasar dari setiap sistem perpajakan yang ada di dunia dan dianggap ideal. Oleh sebab itu, beban pajak atau jumlah pajak yang harus ditanggung atau dibayar, harus didasarkan pada kondisi yang nyata, realitas dan fakta yang ada. Sebisa mungkin tidak berdasarkan asumsi atau taksiran.
Dari pra-syarat di atas, maka dalam menyikapi setiap grey area perpajakan, setiap pihak semestinya memahami dan meyakini hal-hal berikut ini:
  • Hukum diterapkan dan ditafsirkan dalam cara-cara yang dianggap paling benar dan adil, dengan urut-urutan yang tepat sesuai kebenaran dan keadilan tersebut. Hal ini termasuk juga berkaitan dengan hirarki atau peringkat peraturan;
  • Semua pasal undang-undang dan ketentuan perpajakan bisa dikatakan mengandung grey area. Sebabnya adalah fakta di mana tidak semua hal bisa dituangkan ke dalam redaksional ketentuan perpajakan. Sebagai contoh, istilah-istilah “dan sebagainya”, “dan sejenisnya”, “dan lain-lain”, “termasuk” yang banyak ditemui dalam berbagai pasal dan peraturan perpajakan. Semua ungkapan ini bersifat terbuka dan tidak pasti;
  • Berbicara tentang pajak, tidak bisa hanya berbicara tentang hitam dan putih, melainkan harus mengutamakan kondisi faktual yang ada. Hal ini dituangkan dalam ketentuan formil undang-undang perpajakan kita:
  • Menyikapi grey area harus dilakukan dengan sudut pandang yang benar, agar tidak terjadi bias kepentingan. Oleh sebab itu, pihak yang bersangkutan harus bisa melihatnya dari kacamata praktisi perpajakan agar tetap bisa objektif dan berorientasi pada aturan perpajakan secara netral. Ini berarti, kacamata pembayar pajak atau kacamata otoritas pajak tidak dapat digunakan secara sepihak.

Cara Menentukan Aspek Perpajakan Suatu Transaksi
Cara menentukan aspek pajak dalam suatu transaksi, pada dasarnya mengikuti pola atau proses sebagai berikut:
  • Menentukan duduk persoalan dan konteksnya, hal ini dilakukan dengan memetakan kondisi faktual dari transaksi yang bersangkutan. Hal ini mencakup objek atau benda yang ditransaksikan, pihak yang bertransaksi, motivasi atau tujuan transaksi, sifat atau karakteristik dan ciri-ciri transaksi termasuk nama dan sebutan transaksi, waktu transaksi, tempat transaksi dan cara transaksi;
  • Mengumpulkan berbagai aturan yang sesuai konteks dan permasalahan;
  • Menerapkan aturan perpajakan berdasarkan hirarki dan cara penafsiran sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Sedapat mungkin cara yang dipilih adalah cara yang paling valid;
  • Mengidentifikasi berbagai alternatif solusi maupun alternatif perlakuan perpajakan. Hal ini dilakukan dengan memilih alternatif yang dianggap paling menguntungkan;
  • Mengidentifikasi risiko-risiko yang terkait pada setiap alternatif solusi atau aternatif perlakuan perpajakan.